KOMUNIKASI SEBAGAI ILMU

Komunikasi sebagai bentuk keterampilan dapat menjadi suatu ilmu karena memenuhi persyaratan tertentu yang disebut bersifat ilmiah. Salah satu sifat ilmiah adalah memiliki metode, yang berarti penelitian tersebut berlangsung menurut suatu rencana tertentu. Secara umum tujuan suatu pengetahuan ilmiah adalah untuk deskriptif, eksplanatif, dan prediktif.
  •   Deskriptif berarti suatu ilmu akan menjelaskan gejala-gejala yang menjadi objek formalnya.
  •   Eksplanatif berarti seluruh gejala yang teramati itu dapat dihubungkan satu sama lain secara kausal (sebab akibat),
  •   dan selanjutnya dapat dilakukan prediksi atas gejala-gejala yang akan timbul (prediktif).
Mengingat ilmu alam lahir lebih dahulu daripada ilmu sosial (termasuk ilmu komunikasi), sifat ilmiah sebagai persyaratan ilmu banyak dipengaruhi paradigma ilmu-ilmu alam, sebagaimana dikemukakan Poedjawijatma (1983), Hatta (1987), Suriasumantri (2001), dalam Vardiansyah (2005: 8). Persyaratan suatu keterampilan menjadi ilmu itu ialah objektif, metodis, sistematis dan universal:
1.       Objektif: ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri dari satu golongan masalah yang sama sifat hakikatnya, tampak dari luar maupun dan dalam. Objek dapat bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus diuji keberadaannya. Dalarn mengkaji objek, yang dicari adalah kebenaran, yakni persesuaian tahu dengan objek, dan karenanya disebut kebenaran objektif, bukan subjektif berdasarkan subjek peneliti.
2.       Metodis, dalam upaya rnencapai kebenaran, selalu terdapat kemungkinan penyimpangan, yang  harus diminimalisasi. Konsekuensinya, harus terdapat cara tertentu untuk menjamin kepastian kebenaran. Cara ini disebut metodos dari bahasa Yunani (hodos yang berarti: cara / jalan). Dalam bahasa umum: metodis, yakni metode tertentu yang disebut metode ilmiah. Maka pengetahuan yang didapat secara metodis merupakan syarat ilmu yang kedua.
3.       Sistematis, karena mencoba mengetahui dan menjelaskan suatu objek, ilmu harus terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk suatu sistem (dari bahasa Yunani, sustema) yang berarti: utuh, menyeluruh, terpadu, menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut  objeknya. Maka pengetahuan yang tersusun secara sistematis dalam rangkaian sebab akibat rnerupakan syarat ilmu yang ketiga.
4.       Universal, kebenaran yang hendak dicapai bukan yang tertentu, melainkan bersifat  umum. Contoh: semua segitiga bersudut 180 derajat. Dengan kata lain, pengetahuan tentang yang khusus, yang tertentu saja, tidak diinginkan. Ilmu alam tidak puas jika tahu logam tertentu mengembang jika dipanasi. Ia berusaha mengetahui bagaimana seluruh jenis logam bahkan juga benda-benda lain umumnya—jika dipanasi. Kiiteria pada ilmu alam inilah yang diadopsi oleh ilmu sosial, membuat pengetahuan yang bersifat urnumlah yang dicari.
Belakangan ilmu sosial menyadari kadar universalitas yang dikandungnya berbeda dengan ilmu-ilmu alam, mengingat objeknya adalah tindakan manusia. Karena untuk mencapai tingkat universalitas dalam ilmu-ilmu sosial harus  tersedia konteks dan kondisi yang tertentu pula. Masalahnya, sulit mencapai konteks yang betul-betul sama  persis, tidak ada tingkah laku manusia yang bisa diulangi  dan terulangi sama persis dari waktu ke waktu.
Sekarang marilah kita tinjau bagaimana komunikasi yang semula hanya sebuah keterarnpilan kemudian menjelma sebagai ilmu. Perubahan bentuk dari keterampilan menjadi ilmu harus memenuhi syarat-syarat sebagai ilmu, yaitu: objektif, metodis, sistematis, dan universal.
1.       Objektif. Sebagai sebuah ilmu, apakah komunikasi memiliki objek tertentu? Ada dua objek material komunikasi, yaitu masyarakat (objek material pertama) dan media (objek material kedua) (Abrar, 2003: v). Menurut Abrar, seperti ilmu-ilmu lainnya, ilmu komunikasi memiliki objek material yaitu masyarakat. Dalam perkembangannya, ilmu komunikasi mengenal objek material yang lain yaitu media. Setelah menjadikan media sebagai objek material kedua. maka ilmu komunikasi memiliki objek kajian yang kongkret dibanding objek kajian ilmu sosial yang lebih tua. Sementara menurut Hamijoyo (2005) objek material komunikasi ialah perilaku manusia, yang dapat merangkum perilaku individu, kelompok dan masyarakat. Selain objek material, ilmu komunikasi pun memiliki objek formal, yaitu situasi komunikasi yang mengarah pada perubahan sosial termasuk perubahan pikiran, perasaan, sikap dan perilaku individu, kelompok, masyarakat dan pengaturan kelembagaan.
2.       Metodis. Sebagai sebuah ilmu, apakah komunikasi mempunyai metode tertentu? Ada sejurnlah metode penelitian yang dimiliki komunikasi. Secara ilmu ini menggunakan metode penelitian ilmu sosial. Ini dapat dipahami karena pada awalnya ilmu komunikasi merupakan bagian dari paradigma ilmu sosial.
3.       Sisternatis: Dari objek ilmu ini kemudian ditarik garis yang teratur berupa penataan, sehingga ia benar-benar merupakan suatu unit yang utuh, yang kemudian dapat diperinci secara sistematis. Pengertiannya jelas, perbedaannya dengan ilmu-ilmu lainnya pun harus jelas. Begitu pula strukturnya, hierarkinya, urutan-urutannya harus sedemikian rupa, sehingga makin ke bawah pengertiannya makin khusus. Kini pengertian-pengertian dalam bidang Ilmu Komunikasi pada prinsipnya sudah mencapai kesepakatan.
4.       Universal. Telah ada kesepakatan bahwa ilmu ini mempelajari pernyataan antarmanusia, kendati nama-nama yang berbeda masih mewamai ilmu ini, seperti istilah Publiciteitsleer (W. N. Van der Hout), Pers-etenschap (Kurt Baschwitz), Zeitungswissenschaf (Karl d'Ester), Communication, Journalism, Mass Cornmunication, communicolog di Amenica serikat.
Ciri ilmu dalam perspektif ilmu sosial di atas (objektif, metodis, sistematis, dan universal) kemudian diperbaharui. Perkembangan rnetode ilmu yang rnulai membedakan antara ilmu alam (erklaren) dan ilmu sosial (verstehen) pada akhimya merumuskan ciri ilmu sosial yang lebih khas, maksudnya tidak sama persis dengan ciri ilmu-ilmu alam. Ciri suatu ilmu sosial adalah adanya rasionalitas, dapat digeneralisasi, dan dapat disistematisasi. Jadi kesimpulannya suatu ilmu haruslah dapat diuji. Setiap konsep atau prinsip ilmiah apa pun dapat saja ditolak setelah dibuktikan kembali bahwa ia salah atau bahkan dipandang menipu. Ihwal cara pengujiannya tidaklah seragam bergantung pada perspektifnya: positivisme, menggunakan uji empiris verifikasi, dan atau falsifikasi, konstruktivisme, menggunakan uji valibilitas, dan seterusnya.Lebih lengkap lagi Alfred Schutz mengajukan ciri ilmu sosial. Ia mernberikan tiga postulat ihwal ilmu.
Pertama, konsistensi logis. Konsistensi logis berarti suatu ilmu haruslah rasional, dapat digene-ralisasi, dapat disistematisasi.
Kedua, adanya interpretasi subjektif.
Ketiga, kecukupan (adequacy), menuntut ilmu untuk tetap konsisten dengan "pengalaman awam terhadap realitas sosial". Jadi penjelasan ilmiah tentang tindakan manusia haruslah dapat dimengerti oleh orang yang bukan ilmuwan; dengan cara ini hasil kerja ilmiah menjadi serasi dengan interpretasi orang awam.
Perubahan ciri ilmu ini tak bisa dihindari dan bukan berarti menghapuskan ciri ilmu yang sebelumnya. Semua ciri ilmu dapat digunakan bergantung pada perspektifnya; dengan kata lain semua ciri ilmu itu dapat dikenakan sernuanya (walaupun tidak secara bersamaan) terhadap ilmu komunikasi. Apa sebab? Sekali lagi, ditegaskan, karena ilmu komunikasi adalah ilrnu yang serba-serbi.

(Disarikan dari Buku Filsafat Ilmu Komunikasi, Elvinaro Ardianto & Bambang Q. Anees, 2009:22-25)

No comments:

Post a Comment